SUDUTPANDANG. Bayangkan sebuah chip yang mampu mengolah data ribuan kali
lebih cepat dari prosesor digital tercanggih yang kita kenal saat ini. Sebuah
inovasi yang bisa membuat GPU kelas atas seperti NVIDIA H100 atau AMD MI300
terlihat “lambat”. Kedengarannya seperti fiksi ilmiah, bukan? Tapi, inilah
kenyataan terbaru yang datang dari laboratorium riset di Tiongkok.
Tim ilmuwan dari Peking University mengumumkan pencapaian
menakjubkan: mereka berhasil merancang chip analog untuk kecerdasan buatan (AI)
yang diklaim 1.000 kali lebih cepat dan 100 kali lebih hemat energi dibanding
chip digital konvensional. Terobosan ini bisa menjadi babak baru dalam sejarah
komputasi terutama di tengah perlombaan global mengembangkan AI yang semakin
cerdas dan efisien.
Mengapa Dunia Butuh Inovasi Baru di Dunia Chip?
Sejak era revolusi digital dimulai, hampir semua perangkat komputasi bergantung pada logika biner sistem berbasis 0 dan 1. Setiap kalkulasi, mulai dari mengetik pesan di ponsel hingga melatih model AI, diolah menggunakan miliaran transistor yang bekerja dalam dua kondisi, hidup atau mati. Teknologi ini memang luar biasa, tetapi kini mulai menunjukkan batasnya.
Model AI raksasa seperti GPT, Gemini, atau Claude
membutuhkan daya listrik dalam jumlah masif untuk beroperasi. Di pusat data
besar, konsumsi energi AI bisa mencapai jutaan kilowatt jam per tahun. Belum
lagi persoalan panas, biaya pendinginan, dan keterbatasan fisik chip digital
yang semakin sulit diperkecil.
Nah, di sinilah komputasi analog masuk sebagai “pahlawan lama
yang bangkit kembali”. Berbeda dengan digital, chip analog tidak hanya mengenal
dua kondisi. Ia bekerja dengan sinyal kontinu, layaknya cara otak manusia
memproses informasi. Hasilnya, perhitungan bisa dilakukan lebih cepat, dengan
energi yang jauh lebih efisien.
Bagaimana Chip Analog Ini Bekerja?
Chip buatan tim Peking University ini memanfaatkan teknologi
yang disebut Resistive Random-Access Memory (RRAM). Berbeda dari arsitektur
digital konvensional, chip ini menerapkan pendekatan “compute-in-memory”
artinya, komputasi dan penyimpanan data dilakukan di tempat yang sama.
Dalam sistem digital biasa, data harus bolak-balik dipindahkan antara CPU/GPU dan memori. Proses ini menciptakan apa yang disebut “bottleneck von Neumann”, yang menyebabkan lambatnya transfer data dan tingginya konsumsi energi. Chip analog menghapus hambatan itu sepenuhnya.
Alih-alih mentransfer data, chip ini melakukan perhitungan
langsung di dalam memori, menggunakan variasi resistansi listrik untuk
merepresentasikan informasi. Dengan cara ini, satu operasi kompleks bisa
diselesaikan hanya dalam beberapa langkah, bukan ribuan siklus seperti pada
prosesor digital.
Para peneliti menjelaskan bahwa pendekatan ini memungkinkan
chip mereka memproses operasi matriks besar dengan efisiensi luar biasa sebuah
kemampuan penting dalam pelatihan dan inferensi AI modern.
Hasil Uji 1.000 Kali Lebih Cepat, 100 Kali Lebih Efisien
Dalam uji coba yang dilakukan, tim menemukan bahwa chip analog ini mampu mencapai throughput 1.000 kali lipat dibandingkan chip digital terkemuka milik NVIDIA dan AMD. Lebih menakjubkan lagi, konsumsi dayanya hanya sekitar 1% dari prosesor digital biasa, sambil tetap mempertahankan akurasi perhitungan yang setara.
Salah satu contoh tugas yang diuji adalah inversi matriks, yaitu perhitungan penting dalam sistem komunikasi 6G dan jaringan nirkabel canggih (massive MIMO). Di bidang ini, chip analog mampu menyelesaikan proses yang biasanya memakan waktu beberapa detik dalam hanya sepersekian waktu, dengan tingkat kesalahan yang sangat rendah.
Lebih menarik lagi, tim menyebut bahwa chip ini dibuat menggunakan proses manufaktur CMOS yang kompatibel dengan industri. Artinya, secara teori, teknologi ini bisa diproduksi massal tanpa perlu membangun pabrik baru dari nol sebuah langkah besar yang membuka peluang komersialisasi dalam waktu lebih singkat.
Potensi Besar di Balik Teknologi Analog
Jika berhasil dikembangkan lebih lanjut, chip AI analog ini bisa menjadi pilar utama generasi baru komputasi. Bayangkan:
- Pusat data AI yang kini menghabiskan energi sebesar satu kota kecil bisa beroperasi dengan konsumsi listrik jauh lebih hemat.
- Perangkat pintar seperti ponsel, mobil listrik, dan drone dapat menjalankan model AI besar tanpa membutuhkan server cloud.
- Negara berkembang pun bisa mengadopsi AI canggih tanpa tergantung pada GPU super mahal.
Selain itu, inovasi ini juga bisa mengguncang peta kekuatan industri semikonduktor global. Selama ini, dominasi pasar chip AI dipegang oleh perusahaan Barat seperti NVIDIA, AMD, dan Intel. Namun, keberhasilan Tiongkok dalam menciptakan chip analog revolusioner ini menunjukkan bahwa era monopoli digital mungkin akan segera berakhir.
Namun, Jalan Menuju Komersialisasi Masih Panjang
Tentu saja, euforia ini harus disikapi dengan realistis. Teknologi analog memiliki sejumlah tantangan yang belum sepenuhnya terpecahkan.
- Pertama, presisi.
Walau chip ini disebut mampu mencapai akurasi digital, sistem analog tetap lebih rentan terhadap gangguan fisik, seperti noise dan fluktuasi suhu. - Kedua, ekosistem perangkat lunak.
Selama puluhan tahun, seluruh perangkat lunak AI dikembangkan untuk arsitektur digital. Agar chip analog benar-benar berguna, dibutuhkan toolchain, compiler, dan framework baru yang bisa beradaptasi dengan cara kerja non-biner. - Ketiga, skala produksi.
Meskipun prosesnya kompatibel dengan teknologi komersial, produksi massal chip dengan presisi tinggi tetap menjadi tantangan besar, baik dari segi biaya maupun kestabilan hasil.
Dengan kata lain, chip ini belum siap menggantikan GPU digital
di pusat data dalam waktu dekat, namun ia membuka pintu menuju paradigma baru
dalam dunia komputasi.
Arah Baru Dunia Kecerdasan Buatan
Inovasi ini bukan hanya tentang kecepatan, tetapi tentang
cara berpikir baru dalam membangun otak buatan. Selama ini, dunia digital
berusaha meniru otak manusia dengan perangkat keras yang tidak dirancang
seperti otak. Namun chip analog membawa kita selangkah lebih dekat ke
pendekatan biologis otak buatan yang memproses informasi secara alami, cepat,
dan hemat energi.
Jika Tiongkok berhasil mengubah penelitian ini menjadi
produk nyata, dunia bisa menyaksikan pergeseran besar dari era “AI mahal dan
boros daya” menuju AI yang efisien, cepat, dan dapat diakses oleh siapa pun.
Kesimpulan
Chip AI analog buatan tim Peking University adalah sebuah
lompatan besar dalam dunia teknologi. Klaim kecepatan 1.000 kali lipat mungkin
terdengar ambisius, tetapi hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa arah
inovasi ini benar-benar menjanjikan.
Di masa depan, bisa jadi komputer tidak lagi berpikir hanya
dalam 0 dan 1, tetapi dalam spektrum kontinu, seperti cara otak manusia
bekerja. Dan jika itu benar terjadi, maka chip kecil dari laboratorium Tiongkok
ini mungkin akan dikenang sebagai awal mula revolusi komputasi baru revolusi
yang menantang dominasi raksasa chip dunia.

