Indonesia Rajin Pakai AI, Tapi Siapkah Kita Jadi Tuan di Negeri Sendiri?

     

    Indonesia Rajin Pakai AI, Tapi Siapkah Kita Jadi Tuan di Negeri Sendiri?

    Sudutpandang. Ditengah gegap gempita dunia teknologi yang terus bergerak maju, Indonesia diam-diam melesat cepat dalam adopsi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). Bukan sekadar ikut-ikutan tren, negeri ini bahkan mencatatkan diri sebagai salah satu pengguna AI teraktif di dunia.

     

    Namun, dibalik lonjakan penggunaan yang mengesankan itu, ada satu pertanyaan besar yang mengemuka apakah kita hanya pengguna, atau juga penguasa teknologi itu sendiri?

     

    Indonesia di Puncak Penggunaan AI Global


    Berdasarkan laporan State of IT 2024 yang dirilis oleh perusahaan teknologi Salesforce, sebanyak 89% profesional IT di Indonesia kini sudah memanfaatkan AI dalam operasional sehari-hari. Bandingkan dengan rata-rata global yang hanya 67% jelas Indonesia berada di atas angin dalam hal pemanfaatan teknologi cerdas.

    AI kini tak lagi sebatas jargon futuristik. Dari otomatisasi tugas kantor, analisis data canggih, hingga sistem pelayanan publik berbasis AI semuanya telah menjadi bagian dari kehidupan profesional di Tanah Air. Namun, seberapa dalam kita benar-benar "menguasai" teknologi itu?

     

    Kedaulatan Digital Isu Besar di Balik Layar


    Tingginya adopsi AI memang membanggakan. Tapi menurut Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja, ada risiko besar jika kita terlalu bergantung pada teknologi asing. Data yang kini diibaratkan sebagai “minyak baru dunia” bisa saja bocor, dimanfaatkan oleh pihak luar, atau bahkan menjadi alat kendali yang merugikan bangsa sendiri. “Bukan sekadar memakai, kita harus punya kendali atas sistem, data, dan arah penggunaan teknologi,” tegas Ardi.

     

    Dengan kata lain, kedaulatan digital adalah isu yang tak boleh disepelekan. Jangan sampai Indonesia hanya jadi pasar empuk, sementara kendali ada di luar negeri.

     

    Pentingnya Membangun Ekosistem Teknologi Mandiri


    Solusinya? Bukan sekadar melarang penggunaan teknologi asing, tapi membangun kekuatan dari dalam. Ini mencakup pengembangan cloud lokal, penguatan infrastruktur data nasional, serta peningkatan kemampuan siber untuk melindungi sistem digital kita sendiri.

    Ardi juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas sector yakni pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat harus duduk satu meja. AI bukan milik satu kelompok, tapi tanggung jawab bersama.

    AI Bukan Gaya-Gayaan, Tapi Aset Strategis Bangsa


    Di era di mana algoritma bisa menentukan arah bisnis, opini publik, bahkan keputusan negara, AI bukan sekadar alat bantu melainkan aset strategis. Negara yang mampu membentuk dan mengatur arah teknologinya sendiri akan berada di posisi unggul dalam percaturan global.

     

    Oleh karena itu, adopsi AI harus dibarengi dengan visi besar: bahwa teknologi ini harus menjadi alat kedaulatan, bukan sekadar kebiasaan digital yang tumbuh tanpa kontrol.

     

    Dari Konsumen Jadi Produsen Inovasi


    Tingginya angka adopsi AI di Indonesia adalah peluang emas. Tapi akan sia-sia jika kita hanya menjadi pengguna pasif. Inilah waktunya bagi Indonesia untuk naik kelas dari konsumen teknologi menjadi arsitek masa depan digitalnya sendiri. Karena di era digital, mengendalikan teknologi berarti menjaga kedaulatan bangsa.

     

    LihatTutupKomentar