SUDUTPANDANG. Ketika kecerdasan buatan (AI) mulai masuk ke dunia kerja,
banyak yang memandangnya sebagai penyelamat baru bagi produktivitas manusia.
Bayangan utopis tentang jam kerja yang lebih singkat, pekerjaan yang ringan,
dan keseimbangan hidup yang lebih baik terasa begitu nyata di awal. Mesin
dianggap akan mengambil alih tugas-tugas monoton, sementara manusia dapat
berfokus pada hal-hal kreatif dan strategis. Namun, riset terbaru justru
menunjukkan kenyataan yang berlawanan, bukannya berkurang, jam kerja banyak karyawan
justru bertambah setelah AI diterapkan di tempat kerja.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: mengapa
teknologi yang dirancang untuk meringankan beban, justru membuat orang bekerja
lebih keras?
AI dan Paradoks Produktivitas
Secara teori, AI memang mampu meningkatkan efisiensi. Ia
dapat mengolah data dengan cepat, menganalisis pola, serta menyelesaikan
pekerjaan administratif yang biasanya memakan waktu manusia. Dalam banyak
studi, penggunaan AI terbukti bisa memangkas waktu pengerjaan hingga puluhan
persen. Namun di sisi lain, muncul apa yang disebut para peneliti sebagai
paradoks produktivitas ketika peningkatan efisiensi malah memunculkan tuntutan
baru.
Perusahaan yang berhasil mempercepat proses kerja berkat AI,
sering kali menaikkan target produktivitas. Karyawan yang sebelumnya hanya
perlu menyelesaikan sepuluh tugas per hari, kini diminta menyelesaikan dua kali
lipat dengan alasan “AI sudah membantu.” Akibatnya, meskipun pekerjaan selesai
lebih cepat, beban kerja justru meningkat karena ekspektasi perusahaan ikut
melonjak.
Paradoks inilah yang membuat pekerja justru merasa semakin lelah. AI memang menggantikan sebagian pekerjaan manual, tetapi bukan berarti tekanan kerja berkurang malah bisa bertambah karena target dan kecepatan kerja yang terus dipacu.
Teknologi Tidak Berdiri Sendiri
Salah satu penyebab utama fenomena ini adalah cara
organisasi mengimplementasikan AI. Dalam banyak kasus, teknologi diterapkan
tanpa perubahan sistem kerja yang menyertainya. AI dijadikan alat bantu, bukan
bagian dari strategi menyeluruh untuk menata ulang beban kerja. Akibatnya,
hasil efisiensi yang seharusnya bisa memberikan waktu luang justru “diserap
kembali” menjadi beban baru.
Sebagai contoh, seorang staf administrasi yang dulunya butuh
waktu berjam-jam untuk membuat laporan, kini bisa menyelesaikannya dalam
hitungan menit berkat AI. Namun waktu luangnya bukan untuk beristirahat atau
mengembangkan diri melainkan langsung diisi dengan tugas tambahan seperti
analisis data lebih mendalam, pembuatan laporan baru, atau pekerjaan lintas
divisi. Alhasil, jam kerja tidak berkurang, bahkan dalam beberapa kasus
meningkat.
Faktor Psikologis, Tekanan untuk “Selalu Siap”
Selain faktor organisasi, tekanan psikologis juga berperan
besar. Ketika AI digunakan di tempat kerja, banyak karyawan merasa harus terus
menunjukkan bahwa mereka “tidak kalah” dari mesin. Mereka berusaha bekerja
lebih cepat dan lebih efisien agar tetap relevan. Ketakutan akan tergantikan
membuat sebagian pekerja rela bekerja lebih lama, bahkan di luar jam kerja
resmi, demi menjaga performa mereka di mata perusahaan.
Fenomena ini sering disebut sebagai automation anxiety
kecemasan yang muncul akibat otomatisasi. Alih-alih menikmati manfaat
teknologi, pekerja justru terjebak dalam lingkaran kompetisi yang tidak sehat
dengan sistem yang seharusnya membantu mereka.
AI Seharusnya Membantu, Bukan Membebani
Padahal, tujuan utama pengembangan AI adalah membantu
manusia. Jika penerapannya malah membuat jam kerja bertambah, artinya ada yang
keliru dalam cara kita memanfaatkannya. Para ahli menyarankan agar perusahaan
tidak hanya fokus pada hasil efisiensi, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan
manusia di balik teknologi tersebut.
Kebijakan kerja yang bijak harus memastikan bahwa waktu yang
dihemat oleh AI benar-benar dialokasikan untuk meningkatkan keseimbangan hidup
karyawan misalnya dengan jam kerja fleksibel, kesempatan belajar, atau waktu
istirahat tambahan. Tanpa pendekatan seperti ini, AI hanya akan menjadi alat
percepatan yang memperparah beban kerja, bukan meringankannya.
Menuju Kolaborasi yang Seimbang
Solusi dari persoalan ini tidak terletak pada menolak AI,
melainkan pada membangun hubungan yang lebih seimbang antara manusia dan
teknologi. AI harus diposisikan sebagai rekan kerja yang membantu, bukan
pesaing yang menekan. Organisasi juga perlu menyiapkan pelatihan yang memadai
agar karyawan dapat memanfaatkan AI secara cerdas, bukan sekadar mengikuti
tuntutan sistem.
Dalam jangka panjang, keberhasilan adopsi AI di dunia kerja
bukan hanya diukur dari peningkatan produktivitas, tetapi juga dari sejauh mana
teknologi tersebut mampu meningkatkan kualitas hidup para pekerja. Bila
keseimbangan ini bisa dicapai, maka AI benar-benar akan menjadi alat yang
membebaskan manusia dari beban rutin bukan menambah tekanan baru.
Penutup
AI menjanjikan masa depan kerja yang efisien dan cerdas,
tetapi implementasinya membutuhkan kebijakan yang berorientasi pada manusia.
Teknologi hanyalah alat, dampaknya tergantung pada bagaimana ia digunakan. Jika
perusahaan mampu menata ulang budaya kerja dan memperhatikan kesejahteraan
karyawannya, maka AI akan menjadi mitra yang mempermudah kehidupan profesional
kita. Namun bila tidak, risiko paradoks produktivitas akan terus menghantui
mesin makin pintar, manusia makin lelah.

