Sudutpandang. Di era ketika teknologi berkembang secepat kilat, ancaman terhadap pekerjaan manusia bukan lagi soal "jika", melainkan "kapan". Dan kabar terbaru datang dari garis depan inovasi kecerdasan buatan. Aravind Srinivas, CEO dari perusahaan teknologi yang kini ramai dibicarakan Perplexity AI mengungkapkan sebuah prediksi yang cukup menggelitik sekaligus menggetarkan dua jenis pekerjaan manusia bisa segera digantikan oleh AI dalam waktu hanya enam bulan. Ya, bukan enam tahun, tapi enam bulan!
Bukan Lagi Sekadar Alat, AI Kini Jadi “Rekan Kerja” Serius
Dalam wawancara yang disiarkan di The Logan Bartlett Show,
Aravind menjelaskan bahwa perkembangan AI generatif sudah sampai pada titik di
mana beberapa tugas manusia dapat dilakukan mesin dengan kecepatan dan akurasi
yang sulit disaingi.
Perplexity, produk AI besutannya, kini tidak hanya mampu menjawab pertanyaan seperti mesin pencari biasa, tetapi juga memahami konteks dan menyusun informasi secara utuh layaknya seorang peneliti profesional. Dan dari pengamatannya, ada dua profesi utama yang posisinya kini mulai tergeser.
Peneliti Informasi dan Pencari Fakta Digital
Pekerjaan pertama yang mulai diincar AI adalah mereka yang
sehari-harinya bergelut dengan pencarian data entah itu jurnalis, penulis
konten, analis, atau bahkan mahasiswa tingkat akhir yang sedang berburu
referensi skripsi. Alih-alih mencari manual lewat Google, lalu memilah
satu-satu dari banyak tab yang terbuka, AI seperti Perplexity bisa menyusun
semua itu dalam satu rangkuman yang padat, akurat, dan relevan dengan
pertanyaan pengguna.
“Kalau tugasmu hanya mencari informasi dan menyusunnya, ya,
AI sekarang sudah bisa mengurus itu dengan baik,” ujar Aravind dengan santai
namun penuh keyakinan.
Customer Support & Asisten Digital Berbasis Teks
Profesi kedua yang mulai rawan digeser adalah layanan
pelanggan berbasis teks. Dari chatbot e-commerce, admin media sosial, hingga
customer service yang menjawab pertanyaan berulang AI generatif kini sudah
mampu menggantikan banyak peran itu.
AI bukan hanya memberikan jawaban copy-paste, tapi bisa
membalas dengan gaya bahasa yang disesuaikan, penuh empati, bahkan menyisipkan
humor jika perlu. Dengan sistem yang aktif 24 jam, minim salah paham, dan
selalu siap dilatih ulang, efisiensi layanan meningkat dan sayangnya, posisi
manusia bisa jadi mulai dipertimbangkan ulang.
AI Tak Lagi Menjawab, Tapi Juga “Memahami”
Yang menarik, Aravind menekankan bahwa keunggulan AI hari
ini bukan sekadar mengakses data, tapi memahami maksud pengguna secara
mendalam. Ini bukan lagi soal "menjawab pertanyaan", melainkan
memahami konteks, memperkirakan kebutuhan, dan merespons dengan kecerdasan yang
menyerupai intuisi manusia. Bayangkan, dalam waktu dekat, orang tak lagi membuka sepuluh
tab browser. Mereka cukup berbicara pada AI dan mendapatkan jawaban layaknya
berdiskusi dengan kolega berpengalaman.
Namun, AI Bukan Musuh. Ia Justru Bisa Jadi Kawan
Walau terdengar menyeramkan, CEO Perplexity tetap
menyarankan kita untuk tidak terburu-buru panik. Menurutnya, peran manusia
masih dibutuhkan terutama dalam aspek pengawasan, pengambilan keputusan
strategis, serta kemampuan empati dan etika yang belum bisa ditiru mesin.
“AI itu alat. Kalau kita bisa memanfaatkannya, justru bisa
meningkatkan produktivitas manusia,” ujar Aravind. Alih-alih bersikap defensif,
ia menyarankan kita untuk mulai beradaptasi dan menyelaraskan diri dengan
teknologi, bukan melawannya.
Profesi Berubah, Bukan Punah
Kecerdasan buatan bukan berarti kiamat bagi pekerjaan
manusia. Namun memang, cara kerja kita harus berubah. Jika selama ini kita
hanya mengandalkan hafalan dan rutinitas, kini saatnya mengasah kreativitas,
kepekaan sosial, dan kemampuan berpikir kritis. Karena ke depan, bukan AI yang
menggantikan manusia, tapi manusia yang tak beradaptasi akan digantikan oleh
mereka yang bekerja bersama AI.